J BALADA
PENGEMBARAANKU J
Ilmu
yang berharga tak harus diperoleh dari bangku sekolah dan cinta yang indah tak
hanya dapat dirasakan oleh orang hebat, semua hal yang ada disekitar kita bisa
dijadikan bahan sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya. Palajari, pikirkan
dan ambil manfaatnya.
Dua
kata yang sering aku dengar, dan kata orang kedua kata tersebut susah untuk
dilupakan, banyak kesan tersembunyi dan akan tetap tinggal serta membekas
didalam hati hingga dewasa nanti. Namun, bagaimanakah dengan diriku???. Aku
yang bukan siapa-siapa dan belum pernah tau apa yang namanya pacaran, meskipun
usiaku sudah 17 tahun tapi aku cukup hati-hati dalam menilai dan mimilih
siapa-siapa saja yang dekat denganku. Rasa suka, kagum, dan ingin selalu dekat
dengan seorang pria tentu saja pernah dan barangkali sering aku rasakan,
namanya juga masa remaja, cukup nikmati sajalah. Dan apakah kini aku bisa
merasakannya??? Entahlah, aku akan membiarkannya layaknya air yang mengalir
mengikuti arus.
Linggo Asri, 24-25 Desember 2014. Tempat dan
tanggal yang telah menorehkan sekelumit kisah kecil yang telah singgah dalam
hati dan pikiran, kisah kasih seorang gadis diujung masa remajanya. Kisah
mengenai cinta pertamanya, persahabatan tanpa memandang status dan usia dan
yang paling penting bisa menyatu dengan alam. Merasakan, memahami dan mulai
menikmati setiap kisah yang Ia alami untuk kemudian Ia kenang dimasa yang akan
datang. Yaa inilah kisahku…
***
Pagi
yng cerah mengawali hariku, 24 Desember 2013. Persiapan yang begitu mendadak,
tak menyurutkan semangatku untuk mengikuti kegiatan yang diadakan Pramuka Kwarran
Siwalan, sebut saja DKR Siwalan. Dengan bermodalakan semangat dan juga nekat
membuat aku semakin mantap dalam kegiatan tersebut.
Pukul
07.00 WIB aku mulai keluar rumah dan menghampiri rekan kerjaku yang juga ikut
DKR, sebut saja namanya Nur. Karena tak satu dari kami yang membawa sepeda
motor, menjadikan kami harus berangkat naik angkot. Okke, tak apalah.
Singkat
cerita, kami telah sampai dipersimpangan jalan menuju Sanggar DKR (tempat
berkumpulnya para anggotanya), tak lama menunggu akhirnya kami dijemput juga
oleh salah seorang anggota DKR juga, namanya Irham. Dengan menaiki sepeda
motornya, akhirnya satu persatu dari kami diantar menuju Sanggar. Kedatanganku yang
sudah terlambat ditambah lagi aku yang terbilang masih anak baru dalam
perkumpulan itu membuat aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu, namun aku tetap ikut bergabung dengan
anggota lainnya, sebagian besar dari mereka masih Nampak asing bagiku.
Satu persatu dari kami, menaiki
bis menuju bumi perkemahan, Linggo Asri. Perjalanan cukup lancar. Disela-sela
perjalanan, terdengar riuh sorak sorai anggota pria dari bagian belakang, ada-ada
saja bahan yang tertawakan, entah apalah yang mereka bicarakan, keramaiannya
tidak sedikitpun mengundangku untuk ikut bergabung tertawa bersama.
Dan
akhirnya kira-kira pukul 11.00 siang kami
tiba ditempat tujuan. Setelah semua isi dipastikan sudah dikeluarkan
dari dalam Bis (kecuali Sisupir pastinya, hahaha), Ketua DKR (Kak Ari),
menginstruksikan kami semua untuk beristirahat kemudian dilanjutkan dengan
pendirian tenda. Tak menunggu lama tendapun telah berdiri. Karena lapar, akupun
langsung turun kebawah dan masuk kedalam warung untuk sekedar mengisi perut
yang sejak pagi belum diisi dengan makanan berat sedikitpun.
Usai
makan, aku yang ditemani Kak Nur langsung menuju keatas, yaa diatas karena
tenda yang didirikan berada diatas bukit kecil. Terlihat semua sibuk dengan
aktifitas masing-masing. Pasang tali temali, mematok sebilah bambu dan menggelar
lebar tenda yang telah kami bawa sebelumnya. Tak perlu menunggu lama, tenda
laki-lakipun telah berdiri tegak dengan posisi berdampingan dengan tenda
perempuan. Yahh, jumlahnya cukup dua saja, tenda pria dan wanita.
Kegiatan
dilanjutkan dengan pencarian kayu bakar, banyak dari anggota yang ikut
mencarinya, namun aku hanya terduduk diam saja disamping tenda. Setelah cukup
banyak kayu yang terkumpul satu persatu dari mereka kembali ke Bumi Perkemahan dan
segera menyusunnya didepan tenda wanita untuk dinyalakan nantinya. Kegiatan
selanjutnya hanya diisi dengan canda tawa, berkumpul bersama, ajang keakraban
katanya, hahahah. Meskipun dari dalam diriku masih menyembunyikan rasa malu,
namun sedikit demi sedikit aku mulai terbawa suasana dan akupun larut dalam
candaan mereka.
Waktu
sudah menunjukkan Pukul 12.00 siang, dan saatnya aku menjalankan kewajibanku
kepada yang Kuasa. Ditemani dengan anggota DKR (Ningsih, Riya, dan Nafi), kami
bersama-sama menuju tempat sholat dan mulai menjalankan Sholat Dhuhur. Sholatpun
usai dan kami kembali ke bumi perkemahan bersama-sama.
Saat
itu, kegiatan hanya diisi dengan canda tawa dan gurauan-gurauan konyol yang
cukup membuat aku terpingkal-pingkal dengannya. Cukup lama berkumpul, akhirnya
waktu sholat Ashar tiba, aku langsung mengajak anggota DKR lain untuk
menjalankan sholat bersama. Namun, sebelum menuju ke musholla kami memutuskan
untuk berjalan-jalan menuju sungai terdekat. Jalan yang berkelok-kelok, kanan
kirinya hutan hijau nan lebat mampu memanjakan mata dan memenangkan jiwa, udara
segar yang berhembus membuat fikiranku semakin terbuka dan aku benar-benar
menikamti suasana itu. Ditengah perjalanan, kami berfoto-foto dengan gaya anak
remaja pada umumnaya. Sedikit canggung,
namun aku tetap mencoba untuk menikmatinya. Jeprett, jeprettt, hasilnya,
cukup banyak gambar yang didapat.
Akhirnya
kami tiba ditempat yang dituju, ‘Kali Paingan’. Wajah bahagia jelas tergambarkan
dari masing-masing kami. Anggota laki-laki langsung turun dan membuka baju
mereka, byurrr…. Mereka mulai menikmati segarnya air dari pegunungan, namun
anggota perempuan hanya melihatnya dari bebatuan besar yang terhampar dipinggir
sungai, memandangi anggota pria yang sedang asyik bermain dengan air. Tak lama
kami bermain-main, gerimis dating dan akhirnya Kak Ali meminta kami semua untuk
kembali ke Bumi Perkemahan.
***
Dan
inilah, saat-saat yang paling mengesankan bagiku. Semua anggota berkumpul
dilingkaran api unggun yang telah berkobar cukup besar, duduk didepan tenda
wanita. Satu persatu aku perhatikan setiap anggota yang ada disekelilingku,
benar-benar lengkap semua berkumpul menjadi satu dalam hangatnya kobaran api
unggun. Canda tawa, senda gurau, dan nyanyian-nyanyian yang tak begitu jelas terdengar
nadanya membuat suasana semakin hangat.
Tidak
begitu lama kami menghabiskan waktu bersama-sama, senjapun tiba dan salah satu
Kakak DKR ( Kak Ali ) menginstruksikan setiap anggota untuk sejenak memanjatkan
do’a kepada Sang Pencipta. Serentak semua anggota menghentikan sejenak
aktifitas mereka dan mulai menundukkan kepala dibarengi dengan mengangkat kedua
tangan mereka seraya berdo’a. Dengan wajah yang masih bertanya-tanya aku masih
saja terlihat celingukan menoleh kesana kemari, maksud hati ingin mencari tahu
maksud dari memanjatkan do’a tersebut. Dan saat itu, perhatianku terhenti pada
sosok remaja yang duduk disampingku,
Bagus nama remaja laki-laki ini. Ia tengah khusuk memanjatkan do’a dengan
diiringi suara yang terdengar begitu samar keluar dari mulutnya yang juga ikut
berkomat-kamit. Entah bacaan apa saja yang ia panjatkan namun kekhusyukannya
membuat aku semakin penasaran.
“ Apaan sich yang barusan kamu
baca?” tanyaku pada dirinya yang berada disampingku
“ Nggak kok, palingan bacaan
biasa” jawab Bagus (Yah, nama remaja cowok ini, Bagus)
“ Beneran dech, aku penasaran,
pengen tahu” tanyaku makin penasaran
“ Enggak kok, beneran “ jawab Ia
singkat
“ Tapi tadi
aku kaya mendengar kamu baca Surat Al-Kautsar, Ayat Kursi, terus apaan lagi gak
begitu jelas” terangku gak mau kalah
“ Masak
sih???” Bagus menimpali
Karena
rasa penasaran yang begitu tinggi, aku tak kan pernah ada kata lelah apalagi
jemu dengan hal-hal baru yang menarik hati untuk diketahui, saking penasarannya
tak henti-hentinya aku mewawancarainya (sok banget bahasanya). Dan akibatnya,
Kak Alipun mendengar percakapan kami, dan Ia langsung menjelaskan kepadaku
tentang maksud dari do’a yang dipanjatkan.
“ Nah, emang sebenarnya do’a apa
sih yang dipanjatkan dan apa maksudnya?” tanyaku
“ Yang namanya berdo’a itu untuk
memohon Perlindungan kepada Sang penguasa, apalagi ini didaerah yang jauh dari
tempat tinggal, apa salahnya jika kita memohon keselamatan dan keamanan selama
disini nantinya.” Terang Kak Ali
“ Yang harus dibaca itu apa saja?
Terus kenapa saat-saat kaya gini bacanya?”
“ Waktu pergantian antara siang
dan malam itu sebaiknya kita berdo’a memohon perlindungan serta keamanan karena
ada makhluk lain disekitar kita yang senantiasa hidup berdampingan dengan kita.
Kehidupan mereka berbalik dengan kita, jika kita itu beraktifitas disiang hari,
justru mereka mulai beraktifitas dimalam hari.” Jelas Kak Ali
“Ooh gituu ya?”
“ Iiih, kok jadi horror kayak
gini sih?” celetuk Kak Nur
“ Iaa nih, tapi aku juga ingin
berdo’a akh” balasku
Matahari
benar-benar mulai menyembunyikan wajahnya dan kegelapan mulai menyelimuti bumi
perkemahan. Angin pegunungan yang berhembus membuat suasana semakin bertambah
sepi. Kali ini Bagus mulai mengajakku berbicara mencoba mendekatiku dan berinteraksi
denganku.
“ Lihat nih, bulu tanganku
berdiri, benar-benar merinding”
“ Yaa, iyalah orang udaranya
dingin kayak gini kok! Wajar kan kalau badan terasa dingin dan merinding?”
“ Tapi ini beneran, disitu, disana
dan dibelakang kita banyak penunggunya.” Sambil menunjukkan jari jempolnya sesuai
dengan arah yang ia tuju
“ lhoh, kenapa harus pake jari
jempol nunjuknya?”
“ biar lebih sopan aja” jelasnya
“ tapi emang beneran yang barusan
kamu tunjuk itu ada penunggunya?”
“ ialah”
“ yang bener aja? Serius?”
“ iya benar, serius ngapain juga
bohong! Jawabnya agak ketus
“ nah emang kamu bisa liat makhluk-makhluk
gaib? Kok tau kalo yang berusan kamu tunjuk itu ada penunggunya?”
“ iya kok Kak, beneran kami bisa
melihat makhluk-makhluk halus” tiba-tiba kembaran Bagus,
(Tio) menimpalinya
“ Kemampuan yang kami miliki itu
sudah turun temurun dari Kakek kami” tambah Ia
“ yaa, yaa, yaa,” sedikit ragu
aku hanya mengiyakan perkataan mereka.
Dari
sisi tempat duduk yang lain, mereka berkumpul, tengah asyik memainkan kartu.
Berbagai permainan yang mereka tunjukkan cukup menghibur dan menarik perhatian
kami, termasuk Bagus. Ia penasaran, dan langsung beranjak dari tempat duduknya
dan menghampiri Sipemain kartu. Ia mulai memperhatikan dengan seksama dan
mencoba membuka teka-teki dibalik permaian itu. Cukup lama ia memahaminya dan
akhirnya ia bisa memainkannya sendiri dan iapun langsung kembali duduk
disampingku dan mengajakku untuk mengikuti permainannya.
“coba lihat permaian kartuku!”
ajak ia
“ok, coba aku ingin lihat gimana
permainanmu”
“(mulai mengocok kartu yang ada
ditangannya) ambil dua kartu, apa saja yang kamu inginkan dan jangan beritahu aku!
Cukup kamu pilih dan jangan diambil” terang Ia
“bebas nih, terserah saya? Ok
kalau gitu aku pilih….
“cukup, jangan kamu kasih tau,”
“ok, aku sudah memilihnya”
“beneran sudah, aku kocok yaa?”
“he’eh”
“pasti kamu pilih yang ini…. Dan
ini! Iya kan?”
“nah lho, kok kamu tahu sih? Gimana tadi caranya, kok bisa?”
“ ohh, itu rahasia”
“kasih tau dong caranya…?”
“ehm itu, rahasia”
Pembicaraan
kami terhenti seiring adanya suara adzan Maghrib yang terkumandang dari musolla
kampong sebelah. Sebagian anggota dari kami memilih untuk sholat terlebih
dahulu dan segera pergi ke musholla untuk menjalankan sholat Maghrib. Namun,
aku dan beberapa anggota lain memutuskan untuk bergantian dengan mereka.
Semakin
larut udara semakin dingin, aku mulai mengambil jaket jeans dari dalam tasku
dan langsung memakaikannya ditubuhku. Diluar tenda, rupanya Bagus sudah
menungguku dan mengajakku duduk berdampingan dengannya. Tidak banyak yang kami
lakukan bersama, hanya suara semilir angin yang berhembus cukup kencang hingga
membuat pepohonan bergoyang kekanan kekiri. Rupanya jaket yang aku kenakan tak
cukup untuk mengatasi situasi seperti ini, aku mulai merasa kedinginan. Ia
menoleh kehadapanku dan mulai membantuku mengatasi situasi seperti ini. Sebagai
Siswa yang rajin, ia banyak mengikuti Kegiatan Ekstra di sekolahnya. Dengan
sigap Ia mulai menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya kemudian ia tempelkan
ditanganku.
“gimana?
Udah mendingan belum?” Tanya ia, sambil menaruh sedikit perhatian terhadapku
“lumayan,
tapi masih tetap dingin. Mungkin tubuhku belum bisa beradaptsi dengan
lingkungan sini”
“lagian
kamu juga sih, sudah tahu mau berkemah didaerah seperti ini, malah bawa jaket
yang kayak
gitu? Jaket jeans itu gak bisa menahan dingin!”
“ia,
ia, namanya juga kurang persiapan, waktu berangkat aku buru-buru tahu?”
“ya
udah, sini tak pijetin” (sambil memijat bagian pundakku), sakit enggak?
“enggak
kok, lumayanlah?”
“kenapa
nis?” tiba-tiba Kak Ari datang menghampiri kami berdua
“Gak
papa kok Kak, Cuma merasa kedingina aja” jawabku singkat
“Ooh,
coba mana telapak tanganmu” (sambil mengulurkan tangannya dihadapanku)
“emang
kenapa Kak?” (aku langsung memenuhi permintaannya)
“mau
ngecek aja, apa kamu baik-baik saja. Gimana sakit nggak” ( memijat telapak tangan
bagian tengah antara ibu jari dan telunjukku)
“enggak
kok, biasa saja”
“syukurlah,
kamu baik-baik saja”
“emang
pijatan tadi fungsinya untuk apa Kak?”
“ini pertolongan pertama jika ada
yang masuk angin, kenapa bagian ini yang Kakak pijat, itu karena ujung
syarafnya bersambungan dengan syaraf lainnya” jelas Kak Ari
“Ohh,…
“kalau kamu Kram dan gak enak
badan, bagian sini yang perlu kamu pijat (sambil memijat kedua telapak kakiku)
“kalau yang itu fungsinya untuk
apa Kak?”
“masing-masing tergantung dari
yang dipijat, setiap bagian memiliki
fungsi yang berbeda” dan bla bla bla . . . (sambil memijit ia menjelaskan,
namun tak semua yang ia terangkan aku bisa memahaminya)”
Rupanya
Bagus tertarik dengan apa-apa saja yang tadi dilakukan Kak Ari denganku. Ia
mencoba mempraktekkan kembali disebagian tubuhku dan menjelaskan kalau semua
itu juga pernah ia dapatkan selama mengikuti Ekstra diSekolahnya.
Setelah
menunggu cukup lama, akhirnya rombongan pertama telah kembali dari musholla dan
kini giliran kami (rombongan kedua) untuk menjalankan Sholat Maghrib
berjama’ah. Rombongan kedua terdiri dari aku, Bagus, Kak Ali, Kak Ema, Kak Heru
dan Kak Irul. Kami mulai bergegas dari tempat duduk kami dan berjalan menuju
keMusholla. Jalan setapak yang naik turun, licin dan tanpa penerangan membuat
kami harus berhati-hati sambil membawa alat penerangan sendiri, namun parahnya
lagi aku tak membawa senter.
Aku
mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang licin dan gelap, selangkah demi
selangkah aku mulai meninggalkan Bumi perkemahan. Berjalan dibagian belakang
membuat aku cukup was-was bilamana aku terjatuh dan terperosok, tapi syukurlah
ada SiBagus yang senantiasa berjalan disampingku, Ia yang selalu sigap dan
selalu siap sedia mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit. Akhirnya kami
sampai juga di Musholla, tanpa lama-lama Aku langsung mengambil air wudlu,
memakai mukena dan menunggu Kakak DKR untuk memimpin sholat jama’ah.
Sholat
maghribpun usai, Kami langsung melanjutkan sholat Isya’ berjama’ah. Kali ini,
Kak Ali meminta Kak Heru untuk
bergantian memimpin Sholat Isya’, cukup lama memang mereka memperdebatkan siapakah
yang akan menjadi seorang Imam tapi akhirnya perdebatan diakhiri dengan
kumandang Adzan oleh Kak Ali, tak lama setelah itu kini giliran SiBaguslah yang
mengumandangkan Iqomah, tak begitu bernada, namun aku salut dengan kesediaan
dan juga keberaniannya maju kedepan, mengumandangkan Iqomah.
Sholat
Maghrib dan Isya’pun telah kami jalankan bersama-sama. Awalnya Aku memutuskan
untuk langsung kembali ke Bumi perkemahan, namun sebelum itu, aku memutuskan untuk
buang air kecil terlebih dahulu. Aku mulai berjalan sendiri menuju toilet
disamping secretariat, tiba-tiba kau melangkah juga mengiringi langkahku, rasa
takutpun mulai hilang karena bagiku disampingmu Aku merasa aman, kaulah yang
selalu melindungiku. Usai buang hajat, kami melangkah menuju Bumi perkemahan,
dalam situasi malam yang sepi nan gelap tak sedikitpun membuat aku merasakan
takut, karena sekali lagi kau masih berada disisiku, melangkah bersama dan
selalu menawarkan segala kebaikanmu untuk membatuku sampai tujuan.
Sampai
di Bumi perkemahan, kami mulai bergabung dengan lainnya yang sedang asyik
bersantai ria,menikmati temaram cahaya api unggun ditengah hutan yang gelap.
Dengan diiringi lagu yang mereka mainkan dari musicbox, mereka mulai mulai
bersuara dengan nyanyian-nyanyian yang cukup ramai diselingi dengan candaan
khas dari mereka. Makan malampun tiba, Bagus mengajakku untuk mencari makan
dibawah sana. Awalnya aku mengira hanya kita berdua yang akan melangkah
bersama, tapi ternyata ada Kak Eri yang ikut bersama kami. Berjalan bertiga,
keluar masuk warung makan, mencari nasi, satu persatu warung menyatakan sudah ntidak ada. Akhirnya, setelah
berjalan cukup jauh, kami menemukan warung yang berdiri diujung jalan.
Setelah
nasi kami dapat, kami langsung kembali keBumi perkemahan untuk kemudian makan
bersama. Makan malam yang sederhana, nasi putih ditemani ayam bakar (bikinan
sendiri) dan hanya beralaskan kertas minyak dan ditata dijadikan satu. Semua
anggota mulai duduk melingkar, mengelilingi nasi yang telah ditata rapi.
Setelah Do’a dipanjatkan, akhirnya kami serentak menyerbu makan malam yang
berada dihadapan masing-masing. Ya, sederhana
namun disinilah letak kebersamaan. Makan malampun usai dan kegiatan dilanjutkan dengan bernyanyi-nyanyi
bersama.
Tak
lama aku menikmati situasi seperti ini, rupanya malam yang kian larut membuat
udara di Bumi perkemahan semakin dingin. Aku memutuskan masuk kedalam tenda, maksud
hati ingin menghangatkan diri. Aku coba untuk memejamkan mata, mempersiapkan
diri untuk pengembaraan esok hari. Tak lama aku berdiam diri didalam tenda aku
memutuskan untuk keluar.
“mau
kemana?” Tanya Bagus
“Aku pengen ke toilet, kebelet
pipis” sambil berlalu meninggalkan Bumi perkemahan, jujur saja dalam hati aku
menginginkan Ia untuk mengantarku kembali tapi nampaknya Ia tengah asyik dengan
teman-temannya. Mencoba memberanikan diri melangkah seorang diri menuju toilet meski dalam hati aku merasa dikecewakan
olehnya.
“tak
kira kamu akan mengantarku lagi” (gumamku dalam hati) beberapa langkah aku
meninnggalkan
bumi perkemahan dan …
“Aaargh
. . . “ hampir saja
“udah tau gelap, gak bawa senter, sendirian, gak mau nungguin
lagi” (sambil sigapnya Ia memegangi lenganku, menahan beban tubuhku yang hampir
terjerembab dibawah)
“yaa
kan aku gak bawa senter, gak ada yang mau kebelakang terus tak kira kamu akan
terus
asyik
bernyanyi bersama mereka”
“masak
aku tega kalau kamu sendirian ke Toilet.”
“
ya ya ya, makasih udah nememin aku”
Dan
tiba-tiba . . . Slereekkk . . .
“ya
ampun sudah tau tadi hampir jatuh, sekarang gak mau berpegangan, Sini lho
pegangan biar
gak jatuh.”
“Iih,
apaan sih?”
(Singkat
cerita, aku telah usai membuang hajatku dan saatnya kita kembali ke Bumi
perkemahan.)
“baliknya
lewat sini aja yaa, lebih terang, jalannya halus. Jadi biar lebih gampang aja”
pinta
Bagus
“terserah
aja sih, aku ikut saja”
Kamipun
kembali ke Bumi perkemahan lewat jalan yang berbeda dengan sebelumnya.
Perjalanan kali ini mulus-mulus saja, banyak penerangan karena kami berjalan dijalan
beraspal yang biasa dilewati kendaraan bermotor. Tiba di Bumi perkemahan, kami
langsung ikut bergabung dengan anggota lainnya, yah masih sama dengan kegiatan
sebelumnya; bernyanyi bersama dilingkaran api unggun yang menyala.
Saat
yang lain tengah asyik menikmati alunan music, aku hanya terdiam, tertunduk
lesu. Tak tahu mengapa, entah itu kedinginan atau mengantuklah yang jelas saat itu aku hanya duduk menyendiri
dengan angan-anganberkelana kemana-mana. Jujur saja saat itu, hatiku tersentuh
dengan apa-apa yang telah Bagus perlakukan terhadapku. Segala kebaikannya,
sopan santunnya dan juga sikap keagamaannya telah memikat hatiku dan semakin
membuatku tertarik untuk semakin mengenal dan dekat dengannya. Tapi, tetap saja
aku masih merasa takut, mengingat usiaku yang baru beranjak 17 tahun, dan
sebaris cita-cita yang belum aku wujudkan. Takut jika semua itu hanya sesaat
membahagiakan aku dan akan merusak konsentrasiku untuk menggapai anganku.
“Dorrr!”
Tiba-tiba
Bagus menepuk punggungku dengan cukup keras dan akupun terkagetkan dengan
situasi
seperti ini.
“Aduuh,
sakit tau” gerutuku kesal karena Ia telah membuyarkan lamunanku
“makanya
jangan melamun”
“nah
emang siapa yang ngelamun, orang aku ngantuk kok!” balasku mengelak
Samar-samar
aku perhatikan, orang-orang disekitarku mulai memandangiku dengan tatapan cukup
aneh setelah Bagus mengatakan terhadap mereka kalau ada sosok makhluk halus
yang mengikutiku.
“jangan
melamun Kak!” tiba-tiba Imam ikut juga menepuk punggungku, darinya aku tahu
kenapa semua menatapku
“Aku
gak melamun kok, Cuma ngantuk aja!”
“kalau
disini jangan kebanyakan melamun, nanti ada apa-apa”
“hush,
jangan nakut-nakuti aku seperti itu”
“kalau
ngantuk, ya sudah tidur saja sana. Jangan ngelamun kaya gitu, gak baik” Suruh
Bagus
“ya
udah, aku masuk tenda dulu yaa?”
“ya
sana, tidur yang nyenyak ya…?”
Aku
kembali terdiam dalam lamunanku. Sambil berbaring didalam tenda pikiranku mulai
melayang-layang. Kembali merangkai kisah indah yang tengah aku rasakan bersama
Bagus. Bercanda bersama, menghabiskan waktu, perhatiannya, sigapnya dan segala
kebaikannya. Namun bayang-bayang itu, kini kembali terselimuti rasa takut,
takut jika rasa itu hanya sesaat kemudian menghilang. Sebentar-bentar aku
tersenyum-senyum karenanya, sebentar pula rasa takut mengiringi. Takut akan
dosa, takut karena jika hanya dampak negatifnyalah yang banyak aku dapatkan
dibandingkan dengan nillai positifnya.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 10.00 malam, namun mata ini tak mau juga terpejam.
Pikiran-pikiran itu yang selalu mengiang-ngiang dalam benakku, sudah coba aku
alihkan namun tetap saja aku masih terjaga. Tepat dihadapanku, kulihat saudara Kembar
Bagus, Tio tengah berusaha mendekati Jaya. Susah payah Ia berusaha. Tidur
bersebelahan dengan Jaya, dan … inilah bagian yang paling aku tidak suka, Ia
mulai main tangan mencoba memanfaatkan keadaan dengan meletakkan kedua tangan
Jaya dalam pelukannya. Pikiranku mulai kacau kembali, negative, negative dan
negative semakin memantapkan keyakinanku kalau yang namanya pacaran itu lebih
banyak nilai negatifnya dibanding nilai positifnya.
Satu
jam berlalu dan kini aku merasa ada Bagus disampingku, pikiranku yang sudah
kacau balau ditambah ada sosok laki-laki disebelahku membuat aku benar-benar
harus mengingat Tuhan, yah disituasi seperti ini Dialah sosok yang menenangkan
hatiku. Aku mencoba menenangkan hatiku, menutup mataku, berpura-pura aku telah
lelap dalam tidurku. Aku mencoba bergeser menjauh dari Bagus, tapi Ia tetap
berusaha. Tuhan, apa dua orang saudara kembar ini sama-sama pandai memainkan
perasaan wanita, aku takut Tuhan…
Ternyata,
ia bangkit kembali dari tempat tidurnya, ia mulai merasa kedinginan. ia mencari
kaos kaki dan sarung tangan kemudian ia membagi dua dengan saudara kembarnya,
Tio. Perhatian yang ia tunjukkan benar-benar jelas dihadapanku membuat aku
yakin kalau Ia kakak yang hebat dan aku harap dia berbeda dengan si Tio yang …
Usai
ia memberi kaos kaki kepada adiknya, ia kembali tidur disampingku.
Berdebar-debar jantungku. Tak kupungkiri kehadirannya membuat aku tenang, ia
mulai memastikan apakah aku sudah benar-benar tertidur atau belum. Tuhan. . .
saat ini aku benar-benar merasa bahagia berada didekatnya. Perlahan-lahan aku
mulai terlena dengan sikap manisnya. Suasana sepi yang menyelimuti membuat
suara semilir angin yang berhembus terdengar semakin jelas dan dinginpun mulai
merasuki tubuhku. Tubuhku yang mulai merasakan dinginnya malam, membuat aku
cepat-cepat mengepalkan kedua tanganku dan segera aku letakkan diatas dadaku.
Rupanya Bagus menyadari itu, dan Ia menoleh kepadaku.
“Kenapa?
Dingin yaa?” Tanya Ia,seraya menunjukkan perhatiannya
“Ia
nih, dingin”
“Ya
udah, dilanjut aja tidurnya”
“Ia”
(Ia
mulai menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya kemudian ia tempelkan
ditanganku)
“Gimana?
Udah enakan belum?”
“iya,
lumayan kok”
Mataku
sudah mulai terpejam, namun hati dan juga pikiran ini masih tetap terjaga.
Hanya bayang-bayang tentangnya yang selalu menyelimuti hatiku, jujur saja aku
merasa bahagia diperhatikannya, tapi aku juga merasa takut dengan apa yang akan
terjadi nantinya. Ia mulai memegangi
kedua telapak tanganku, mencoba menghangatkanku. Tak ada perlawanan sedikitpun
dariku, aku tak tahu kenapa aku hanya mengikuti saja kemauannya, padahal aku
tahu itu perbuatan dosa. Cukup lama aku terbuai dengan situasi seperti ini, aku kembali mengingat Tuhan dan akhirnya
aku memutuskan untuk melepas pegangan tangannya. Kembali aku bersedekap, tapi
Ia tetap berusaha meraih kedua tanganku, ya sudahlah aku biarkan saja, toh
hanya begitu saja yang ia lakukan, pikirku sesaat.
Waktu
menunjukkan pukul 11.00 malam, dan Laelapun datang. Ia adalah teman akrab yang
sudah aku anggap sebagai Kakakku sendiri.Ia baru saja pulang kerja dari Pabrik
yang lokasinya di Semarang. Ia mulai masuk tenda dan akupun mulai bangkit dari
tempat tidurku kemudian menyambutnya dengan senyuman hangat. Setelah bersalaman
dan sedikit menyapanya aku langsung kembali berbaring ditempat tidurku semula.
Baguspun mengikuti apa sajayang telah aku lakukan. Ia kembali tidur disampingku
dan saat aku memejamkan mata Ia berusaha kembali mendekatiku. Dan kali ini
lebih parah lagi, Ia mulai mengangkat tanganku dan meletakkannya tepat
diwajahnya, Oh Tuhan…. Tolong jangan biarkan aku terjerumus lebih dalam lagi.
***
Setelah
tertidur dalam waktu 2 jam, aku terbangun dari tidurku, akupun mulai gelisah
dengan kondisi tubuhku yang kembali ingin buang hajat. Mata mulai terbuka,
posisi tidur bergeser kekanan dan kekiri,, membolak-balikkan tubuh, dan sedikit
meresah membuat aku semakin tak bisa menahannya, hingga akhirnya aku putuskan
untuk bangkit dari tempat tidurku.
“kenapa?”
Tanya Bagus
“Aku kebelet pipis nih?”
“Ya
udah nunggu aja bentar lagi kan subuh, tidur aja lagi?”
“Ehmm,
tapi aku kebelet banget nih?”
“udah
tidur aja lagi.”
Saat
itu aku putuskan untuk kembali berbaring ditempat tidurku, merebahkan tubuh dan
mencoba mengabaikan rasa ingin buang hajatku. Detik demi detik dan kini
menitpun berganti dengan jam, namun rasa ingin ketoiletpun juga belum hilang.
“mau
kemana?” Tanya Bagus
“aku
mau ketoilet, gak nahan banget!” sambil bangun dan membenarkan jaketku
“ya
ampun ni anak kok gak perhatian banget sama aku, udah tau aku kebelet banget,
ehh mlah asyik
tidur!” gerutuku dalam hati
Perlahan
aku membuka mataku lebar-lebar dan melangkah keluar dari tenda,
“Kak,
aku pengen ketoilet nih, siapa yang
kepengan bareng?” tanyaku penuh harap
Cukup
lama aku menunggu jawaban, namun tak ada respon sedikitpun dari mereka
“Ayolah,
masak aku keToilet sendirian?”
“Iyya,
Ayok kita ketoilet bareng!” tiba-tiba Kak Novi bangun dari tidurnya dan
menjawab
permintaanku
Dengan
bantuan senter kecil yang dipegang Kak Novi, akhirnya kami berdua berjalan
ditengah hutan yang gelap. Kak Novi berjalan begitu saja didepanku, Dia tak
menghiaraukan aku yang masih berjalan pelan.
“Kak,
jangan cepet-cepet, tungguin dong?”
“iya,
ini juga udah pelan, lagian aku dah kebelet banget nih” sambil memperlambat
langkahnya
“tu kan cepet-cepet lagi? Gelap nih Kak?” sahutku
Kak
Novi berlalu begitu saja melangkah dengan cepat dan SLARAKKKK
“Akkh…..”
Sambil menggerutu aku mencoba bangkit dari tanah dibantu Kak Novi
“Gak
papa kan Nis?”
“iya
gag papa kok Kak? Tapi jalannya jangan cepet-cepet ya?”
“aku
udah kebelet banget Nis?”
“iya tau Kak, tapi Kakak kan tau
kalau yang bawa senter itu Kakak, aku kan enggak bawa jadi aku susah jalannya.
Ntar kalau aku jatuh lagi gimana?” sahutku kesal
Aku mulai berjalan dibelakang
sambil memegangi bajunya. Akhirnya kami sampai diToilet dekat dengan ruang
keamanan, toilet kami bersebelahan. Tak menunggu lama aku langsung bergegas
masuk ketoilet dan memenuhi hajatku setelah selesai aku langsung keluar dan langsung meminta Kak Novi juga ikut
keluar. Namun Kak Novi belum juga usai buang hajatnya.
“Kak novi, aku udah nih?”
“iya Nis, tunggu bentar ya…?”
sahut Kak Novi dari dalam
Beberapa menit kemudian . . .
“Kak, kok lama banget sih?”
suaraku cukup samar
Sambil
melihat kanan kiri, aku memandangi dengan seksama lingkungan disekitarku.
Gelap, sepi, tiada suara manusia satupun, yang ada hanya suara semilir angin
malam dan gemerincik air yang mengalir. Dan kini pandanganku tertuju pada pohon
besar yang tumbuh didepan toilet, yah tepat dihadapanku.ini. Rasa merindingpun
hadir, jujur saja aku punya rasa takut terhadap hal-hal semacam makhluk ghoib.
Untuk sedikit menghilangkan rasa takutku, aku mulai membaca do’a-do’a pendek
sebisaku. Berulang-ulang aku membacanya hingga aku memperoleh ketenangan sambil
menunggu Kak Novi keluar.
“maaf Nis, lama ya? Soalnya aku
BAB.”
“iya, gak papa kok” sahutku
pendek sambil menutupi rasa takutku
“ayok langsung pulang!”
“kali ini jalannya harus
pelan-pelan ya Kak? Kakak gak tega kan kalau aku kembali terperosok ke tanah?”
pintaku memelas
“iya, iya, habis tadi aku kebelet
banget Nis? Maaf ya?”
“he’eh”
Kamipun
berjalan pulang, aku berjalan tepat disamping Kak Novi, sambil memegang erat
lengannya, kali ini aku benar-benar berlindung agar aku tidak terjatuh kembali
ketanah. Dan akhirnya kami sampai diBumi perkemahan, aku langsung bercerita tentang
barusan dengan salah satu Kakak yang terbangun dari tidurnya, bukannya mendapat
perhatian Ehhh aku malah ditertawakan, justru kali ini akulah yang pertama kali
“nemu endog” (istilah mereka jika ada anak yang jatuh terjerembab ketanah).
Aku
kembali masuk ketenda dan bersiap untuk melanjutkan tidurku, karena waktu masih
menunjukkan pukul 03.00 pagi. Aku mulai membaringkan tubuhku dan mencoba
memejamkan mata. Namun karena kejadian tadi, susah rasanya tubuh ini untuk
tertidur kembali dan sampai terdengar suara Adzan Subuh, aku mulai bangkit dan
langsung menuju keMusholla. Dan pagipun tiba, untuk pertama kalinya aku
menikmati pagi yang sejuk di bumi perkemahan Linggo Asri, Pekalongan . . . J
***
2 komentar:
wowww, banyak bingits ....
terima kasih sebelumnya, sudah mau mampir di blog acak-acakan kayak gini
maklum masih belajar :)
Post a Comment
Silahkan jika ingin berkomentar
Mohon berkomantarlah yang baik, sopan, dan juga membangun.
Ok-